Sejak kecil saya sudah terbiasa mendengar kata bulu tangkis. Bahkan hampir setiap orang dapat melakukannya, meski sekedar untuk mencari keringat, bukan menjadi juara. Saya dengan teman dan tetangga sering bermain bulu tangkis dengan raket seadanya dan shuttle cock yang dikasih kenalan atau keluarga…
Bahkan lagu ‘Badminton’ yang bernada lagu Sunda sudah akrab ditelinga kita sejak tahun enampuluhan. Demam bulutangkis sudah mulai semenjak Tan Joe Hok berhasil menjuarai pertandingan, lanjut dengan prestasi Rudy Hartono yang menjuarai delapan kali pertandingan memperebutkan piala Thomas. Lalu kita mengenal Liem Swie King dan Icuk Sugiarto, dua nama yang ikut mengharumkan perbulutangkisan Indonesia dan terakhir Taufik Hidayat yang saya tahu.
Mampukah kini, disaat Indonesia menjadi penyelenggara akan dapat merebut kembali kedua piala supremasi di bidang bulutangkis tersebut sehingga Indonesia berhasil mengulang kejayaan dimasa lampau?
Piala Uber, lambang supremasi bulutangkis wanita pernah disabet Minarni berkali-kali kemudian ada Susi Susanti, Ivana Lie, dll. yang mengharumkan perbulutangkisan wanita di Indonesia. Ini sejarah, yang tercatat dibidang ke-olahragaan Indonesia..
Regenerasi dibidang bulutangkis sudah lama berjalan secara alami : yang tua diganti dengan pemain baru yang masih muda dan berpotensi juara. Hal ini tidak diragukan lagi dan kita menaruh harapan besar kepada para pemain muda tersebut, apalagi persiapan telah dilakukan dengan matang dan jauh hari sebelum event besar itu diselenggarakan pada 11-18 Mei ini di Istora Senayan, Jakarta.
Apa yang rasanya kurang menurut penilaian saya, adalah keterlibatan seluruh perhatian masyarakat kepada pertandingan. Bila dibandingkan dengan puluhan tahun lalu dimana belum begitu banyak televisi berwarna dengan berbagai pilihan channel, shopping mall dan tempat-tempat rekreasi lainnya, maka pusat perhatian seluruh bangsa Indonesia saat itu, ya pertandingan bulutangkis itu…
Semua mata dan perhatian, percakapan dimana-mana pasti yang dibicarakan seputar pertandingan itu, karena belum banyak sarana rekreasi pada saat itu. Apa yang kita saksikan masa kini, adalah terpecahnya perhatian dan tuntutan hidup yang serba meningkat, sehingga orang cenderung bersifat ‘selfish’, egois, kurang nasionalis untuk memikirkan skala nasional karena masih sibuk dengan urusan masing-masing…
Hal itulah yang mengganggu pikiran saya, karena makin jarang saja orang bersifat idealis mau memikirkan masalah dan martabat bangsa. Nasionalisme memudar, mulai luntur dikalahkan tuntutan hidup modern saat ini. Mereka terlalu sibuk memikirkan masalah diri dan keluarganya dan tidak punya waktu lagi untuk memikirkan bangsa dan negara. Solidaritas disegala bidang makin menipis saja…
Satu lagi yang terasa kurang dibandingkan masa lampau, yaitu kesabaran setiap orang pada saat ini sangatlah tidak sabar dibandingkan puluhan tahun lalu. Segalanya serba instant : kopi, mie, fast food, dll. Hal serba instant juga merembet ke pada sifat orang-orang yang maunya segala sesuatu serba cepat : cepat kaya, cepat dapat ijazah, cepat dapat jabatan, cepat terkenal, cepat dapat jodoh, dll. dengan menghalalkan segala cara…
Mungkin pepatah ‘biar lambat asal selamat’ sudah dilupakan dan tidak laku lagi serta  sudah kuno dan tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Jadilah generasi baru kita seperti ‘kehilangan empati’ kepada orang lain, termasuk urusan bangsanya sendiri…
Andaikan saja, seluruh bangsa Indonesia ber’empati’ dan mendukung para pemain bulutangkis kita kali ini dengan memanjatkan do’a agar diberikan kekuatan dan ketangguhan kepada mereka sehingga dapat menaklukkan pemain negara lain, saya kira ini sudah merupakan dukungan moril yang menambah rasa percaya diri pemain kita.
Bagaimanapun, kita berharap agar kedua piala Thomas dan Uber dapat kita rebut dan pertahankan dibumi pertiwi Indonesia. Amien…
Popularity: 23%