Weekend yang lalu, saya sempatkan nonton film yang disutradarai Chaerul Umam dan baru saja di release serentak di seluruh bioskop di Indonesia, termasuk Pekanbaru. Sore hari itu, setelah puas rasanya saya beristirahat sejak pagi karena hari libur, saya melaju kesebuah bioskop yang tidak jauh dari rumah dengan tujuan menyaksikan sendiri betapa indahnya panorama Kairo yang dibelah sungai Nil dan terutama kota Alexandria yang begitu terkenal dikalangan wisatawan manca negara.
Popcorn dan sebotol air mineral menemani saya menyaksikan film yang sudah begitu heboh, sejak dilakukan audisi untuk mencari para pemain yang tepat dengan karakter yang akan dimainkan dalam film tersebut. Bahkan sayapun telah menyaksikan ‘Behind the scene’ yang berupa liputan pada saat pengerjaan film yang berbeaya tinggi itu dinegerinya Cleopatra dengan sphinx dan pyramidenya yang berdiri kokoh sejak ribuan tahun. Cantik nian panorama sungai Nil dimalam hari dari hotel maupun restoran disepanjang sungai terpanjang didunia itu. Begitu pula Alexandria dengan pantai, pasar, dan lampu-lampunya yang sangat indah dimalam hari..
Filmnya sendiri dari pengamatan saya alur ceritra berjalan lamban, kurang lincah dan kurang memikat. Saya lihat beberapa penonton malah keluar dari studio tempat film diputar, sekedar untuk menelpon atau menerima telpon dan ada yang hanya untuk merokok. Sepertinya mereka tidak takut kehilangan adegan demi adegan dalam film tersebut. Iya, karena pada sekitar sepertiga tengah panjang film, dialog dan setting film sudah tidak menarik lagi. Shooting didalam dan sekitar rumah kost mahasiswa Indonesia di Kairo. Adegan tersering didapur, dimana pemeran utama sedang mencuci kedele atau menimbang kacang kedele atau mengaduk-aduk kedele dengan ragi untuk dijadikan tempe. Kurang variatif dan terasa monotoon. Dialog-dialognya kurang menarik, dan hanya sekali-sekali membuat ‘gerrr’ penonton..
Dalam film Ayat-ayat Cinta, sampai kinipun saya masih terbayang adegan pemeran Fakhri yaitu Ferdi Nuril, gitaris band Garasi dan Riyanti Cartwright yang sedang dirawat di rumah sakit dan hampir sekarat. Aura Islami dan setting Arabian, masih jelas di mata saya. Susah untuk melupakan adegan demi adegan dalam film itu yang disertai dengan sound-track film yang sangat memadai… Atau adegan Ferdi Nuril sedang berduaan dengan Carissa Putri, tiba-tiba Riyanti Cartwright nongol dipintu kamar. Keduanya cantik dan berkharisma, dan sedikit ada rasa ingin tahu penonton, karena cadar Riyanti yang berwarna hitam dan menutupi wajah indonya yang jelita.
Alice Norin sebagai Eliana cukup baik diperankan. Namun rasanya sebagai tokoh utama, sangat kecil porsi nongolnya dia didalam film yang berdurasi seratus duapuluh menit itu. Mungkin hanya sepersepuluh panjang film wajahnya dapat kita lihat. Adegan sebagai guide tatkala mengantar Dien Syamsuddin sebagai tamu dalam pesta di Kedubes Indonesia di Kairo. Lalu adegan pada hari ulang tahun Eliana, dimana dia memesan Soto Lamongan ke Azzam yang diperankan Kholidi, sang mahasiswa yang sudah 9 (sembilan) tahun kuliah di Al Azhar University sambil berjualan tempe, bakso dan makanan khas Indonesia lainnya.
Agak disayangkan, adegan Furqon ditulari virus HIV lewat seorang perempuan Israel, tidak jelas sama sekali. Adegannya cuma dia terbangun dipagi hari sudah kesiangan, sehingga tidak bisa diuji pada pagi itu untuk memperoleh gelar Master. Rasanya pemeran Furqon kurang kuat karakternya, tidak seperti yang saya harapkan. Yang bagus justru pemeran polisi Mesir yang menolong menginvestigasi kasus Furqon sampai menangkap dan memasukkan ke penjara si gadis Israel tadi yang rupanya menjadi anggota suatu sindikat dan telah menularkan virus HIV kepada tiga orang lain, selain Furqon.
Popularity: unranked